Iklan Billboard 970x250

Pengertian Dewa Siwa Sang Pelebur dan Kisahnya

Pengertian Dewa Siwa Sang Pelebur dan Kisahnya

HINDUALUKTA -- Siwa merupakan salah satu dewa dalam Tri Murti yaitu tiga kekuatan Sang Hyang Wihdi dalam mencipta, memelihara dan melebur alam beserta isinya. Dari ketiga dewa tersebut yakni Brahma, Wisnu dan Siwa.

Pengertian Dewa Siwa Sang Pelebur dan Kisahnya
Foto: Mha yogi
Nama Lain Dari Siwa

Siwa merupakan Dewa Pelebur dalam Kepercayaan agama Hindu. Siwa dikenal dengan banyak nama antara lain yaitu: Mahadewa, Hara, Chandra-Sekhara, Civan, Nataraja, Rudra, Sada-Shiva, Shib, Siva, Syiwa, Manyu, Manu, Mahinasa, Mahan, Neelakantha, Rtadhvaja, Ugrareta, Bhava, Sarwa, Satyam, Shivam, Sundaram, Kala, Mahakala, Vamadeva, Manikmaya, dan Dhrtavrata.

Arti Nama Siwa

Siwa sendiri berarti yang memeberikan keberuntungan (kerahayuan), yang baik hati, ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberikan banyak harapan, yang tenang, membahagiakan dan sejenisnya (Titib, 2003:239). Dalam tulisan agung Joni yang dipublikasikan melalui facebook mengatakan bahwa siwa memiliki arti "Yang Sangat Spesial (Siwa), Yang Menaruh Bulan Di Atas Kepalanya (Chandra-Sekhara), Guntur (Rudra), Pemanah (Sarwa), Si Leher Biru (Neelakantha), Waktu (Kala), Pelenyap Segala (Hara), Penguasa Segala Tarian (Nataraja)".

Gambaran Umum Dewa Siwa

Di antara ketiga Trimurti, mungkin Siwa adalah yang paling populer di India dan di Nusantara ini. Biasa digambarkan sebagai dewa berkulit biru dan selalu bawa-bawa trisula ke mana saja ia pergi, Siwa adalah dewa dengan penampilan paling ‘eksentrik’ dalam pantheon Hindu. Mari kita bandingkan saja penampilannya dengan dewa-dewa lain. Saat dewa-dewa lain memakai mahkota, Siwa tidak memakai hiasan kepala apapun selain sebuah ikat rambut dan hiasan bulan sabit. Saat dewa-dewa lain memakai zirah emas, Siwa hanya memakai baju kulit hewan atau celana pendek semata. Selain itu, sepertinya tidak ada dewa lain yang memakai hiasan tulang serta ular kobra di leher mereka.

Siwa adalah dewa pertapa dan penyendiri, ia jarang turun ke dunia kecuali jika Wisnu atau Brahma minta bantuannya. Ia menyelimuti dirinya sendiri dengan abu jenazah sebagai perilaku hidup estetik pertapa – sesuatu yang masih dilakukan oleh beberapa pertapa-pertapa Hindu di India saat ini (meski abunya tampaknya bukan lagi abu jenazah).

Siwa digambarkan memiliki empat lengan sebagaimana kebanyakan dewa Hindu lainnya. Dua dari empat lengannya ini biasanya memegang Trisula dan Damaru (drum), tapi terkadang Damaru ini dipasang pada ujung trisula miliknya.

Pasca Pemenggalan Kepala Brahma

Pasca memenggal salah satu kepala Brahma. Siwa hidup menyendiri dan menyepi, menjauhi segala hiruk-pikuk dunia. Ia memilih tinggal di sebuah tempat bernama Kailash atau juga disebut Iswaraloka untuk melakukan tapa penyucian diri. Karena meskipun dewa-dewa (termasuk Siwa) punya kekuatan luar biasa, mereka tetap terikat pada hukum karma – hukum kausalitas.

Memenggal kepala Brahma sama saja mendatangkan karma buruk bagi Siwa. Karma buruk ini sangat terasa dari sikap banyak dewa pada Siwa, mereka, terutama Prajapati Daksha, sangat sinis dan benci pada Siwa, sehingga Siwa memutuskan untuk menyepi, hidup selibat, tidak menikah, dan bersikap pasif.

Menikah Dengan Uma

Prajapati Daksha, salah satu dari anak-anak Brahma, dan juga saudara lelaki Kashyapa – ayah para Aditya, memiliki banyak putri. Salah satunya bernama Sati atau Uma. Sejak usia lima tahun, Sati menjadi sangat ‘berbeda’ dari ayahnya. Ia sangat ingin memuja Siwa dan saat menginjak usia dewasa, ia tak ingin menikahi seorang pun selain Siwa.

Daksha tidak setuju dengan pilihan Sati, tapi Sati yang keras kepala kabur dari istana ayahnya, lalu hidup selayaknya pertapa di hutan belantara. Setelah beberapa lama menjalani hidup ala pertapa, Siwa pun muncul di hadapan Sati dan langsung jatuh hati pada Sati. Siwa pun akhirnya melamar Sati pada Daksha, tapi Daksha tidak setuju Siwa menjadi menantunya. Daksha baru setuju ketika Brahma muncul di istananya dan menyuruh Daksha untuk menyetujui pernikahan Siwa dan Sati.

Ketika Siwa memboyong Sati pulang ke Iswaraloka, Siwa memastikan tempat tinggalnya yang seharusnya hanya tertutup es itu menjadi taman bunga yang hangat di mana bunga dan segala buah tumbuh sepanjang tahun tanpa terpengaruh musim.

Chandra-Sekhara

Pada mulanya Siwa tidak punya hiasan bulan sabit di atas kepalanya. Tapi suatu ketika sang dewa bulan Chandra – yang juga saudara iparnya (sama-sama menantu Prajapati Daksha) – datang kepada Siwa dan mengatakan bahwa karena telah melalaikan kewajibannya pada 27 istrinya, Daksha telah mengutuknya dengan penyakit paru-paru dan membuat kekuatannya melemah dari waktu ke waktu. Siwa setuju untuk mengizinkan Chandra berlindung padanya. Chandra pun kemudian menjadi hiasan bulan di atas kepala Siwa.

Sampai suatu ketika Daksha mendatangi Siwa dan meminta Chandra dikembalikan pada ke-27 putrinya. Siwa awalnya tidak mau tapi pada akhirnya, Chandra pun dikembalikan pada Daksha setelah Wisnu ikut campur. Tapi sebagian kekuatan Chandra tetap ditinggalkan pada Siwa dan menjadi hiasan bulan sabit di kepala Siwa.

Membunuh Daksha

Meski di luar tampak damai-damai saja, Siwa dan Daksha sebenarnya tidak pernah bisa benar-benar akur. Daksha terus menerus memusuhi Siwa dan puncak permusuhan mereka terjadi ketika Daksha mengadakan suatu upacara yajna – upacara korban – tanpa mengundang Sati maupun Siwa.

Sati beranggapan bahwa ayahnya sebenarnya mengundang mereka, tapi karena Sati adalah putrinya sendiri, Daksha merasa tidak perlu menyampaikan undangan langsung. Tapi Siwa sudah berpikir bahwa ini adalah isyarat bahwa Daksha tidak mengharapkan kehadiran mereka berdua. Tapi Sati tetap ingin datang ke yajna itu sehingga Siwa pun mengizinkan Sati datang ke sana, namun guna menghindari konflik, Siwa memutuskan tinggal di Iswaraloka. Meski begitu ia tetap mengutus sejumlah Gana – para asura bawahan Siwa yang umumnya berwajah seram – untuk mengawal Sati.

Dugaan Siwa terbukti benar. Kehadiran Sati dan Siwa memang tidak diharapkan di sana. Daksha yang mendapati Sati hadir di istananya, sepanjang pesta berlangsung tak henti-hentinya menjelek-jelekkan Siwa dan Sati. Sati yang tidak tahan akan cercaan ayahnya akhirnya memutuskan bakar diri di tempat itu.

Siwa yang merasakan istrinya tengah melakukan bakar diri langsung bergegas ke istana Daksha. Dan saat menyaksikan bahwa Daksha sama sekali tidak menyesali perbuatannya, Siwa langsung membantai seluruh hadirin yang ada di sana termasuk juga Daksha. Kemudian Siwa membawa kembali jasad Sati ke Iswaraloka sambil terus meratapi kematian Sati.

Samudra Manthan

Pasca kematian Sati, Siwa kembali menjadikan Iswaraloka padang es sekali lagi. Sekali lagi ia memilih menjadi pertapa dan menjauhi keduniawian – terutama pernikahan. Namun saat racun halahala muncul dari dalam samudra yang diaduk oleh dewa dan asura, Siwa turun ke bumi untuk menelan racun mematikan itu. Siwa tetap hidup, namun tenggorokannya berubah warna menjadi biru gelap pasca menelan racun itu.

Pernikahan Kedua

Bertahun-tahun kemudian, seorang gadis Himalaya bernama Parwati kembali menjalani ritus yang sama seperti yang dijalani oleh Sati untuk menikahi Siwa. Tapi meski begitu, Siwa yang telah menutup seluruh inderanya tidak bisa dibangunkan oleh bakti yang dilakukan oleh Parwati. Melihat hal itu, Indra – raja para dewa – menyuruh Kama – dewa cinta – untuk memanah Siwa dengan panah asmaranya supaya Siwa terbangun.

Kama menjalankan perintah Indra, tapi respon pertama Siwa saat dipanah oleh Kama adalah marah karena ada orang kurang ajar yang mengganggu tapanya. Mata ketiga Siwa langsung terbuka dan menghanguskan Kama menjadi serpihan abu. Tapi begitu ia selesai dengan Kama, Siwa langsung melihat ada Parwati di sana. Karena Parwati punya karakteristik yang mirip dengan Sati.

Pasangan itu menikah dan nama Parwati berubah menjadi Durga. Siwa dan Durga kemudian memiliki beberapa anak yakni Ganesha, Murugan, Andhaka, dan menurut versi Jawa : Kala.

Dan Kama? Karena sudah terlanjur dihanguskan jadi abu, esensi kekuatan Kama yakni : nafsu dan cinta, disebar oleh Siwa ke dunia manusia supaya tanpa ada Kama sekalipun manusia masih bisa jatuh cinta.

Gana

Tidak seperti dewa-dewa Hindu lain yang dikelilingi oleh Gandarwa (bidadara) dan Apsara (bidadari), Siwa dikawal oleh sejumlah Gana. Gana sebenarnya lebih dekat hubungan kekerabatannya dengan Asura, namun mereka tunduk pada Siwa dan tidak terlalu mengganggu manusia. Gana biasa hidup di area pekuburan, oleh karena itu altar atau pelinggih untuk memuja Siwa sering terdapat di area pekuburan. Gana awalnya dipimpin oleh Nandi, tapi saat ini dipimpin oleh Ganesha.

Nataraja dan Siwa Ajna

Siwa ditugaskan untuk mengakhiri suatu siklus Mahayuga. Ada dua cara yang mungkin dilakukan Siwa untuk mengakhiri suatu Mahayuga yakni :
1. Cara pertama : menggunakan mata ketiga (Siwa Ajna, Trilochana, atau Tryambakam) yang konon dapat menghancurkan apapun menjadi abu.
2. Cara kedua : Tandava Nataraja. Siwa adalah dewa penguasa segala tarian. Tapi di antara tarian-tarian ini ada satu tarian yang dinamai Tandava Nataraja. Tarian ini terdiri dari sejumlah gerakan kosmis yang konon bisa mengakhiri seluruh semesta.

Siwa Dalam Ramayana Dan Mahabaratha

Dalam Ramayana, Wanara Hanoman konon merupaka putra atau awatara Siwa. Sebelum berperang melawan Rahwana pun, Rama berdoa pada Siwa supaya mengizinkan Rama untuk membunuh Rahwana – yang merupakan salah satu pemuja Siwa.

Dalam Mahabaratha, Siwa konon menganugerahkan senjata miliknya yakni panah Pasopati kepada Arjuna setelah seri dalam adu tanding memanah rusa saat Arjuna bertapa di suatu pegunungan.

Siwa di Nusantara

Sebagian besar penganut Hindu di Nusantara pada abad 14-16 adalah Hindu Siwasidanta (Siwaisme). Hal ini membuat hampir setiap candi Hindu yang ditemukan di Nusantara memiliki karakteristik candi yang dipersembahkan untuk Siwa dengan ditemukannya arca Siwa atau arca lingga-yoni.

Hindu Dharma yang berkembang di Indonesia saat ini pun masih banyak terpengaruh Hindu Siwasidanta terutama dalam tatacara sesajinya dan penghormatan pada bhutakala (makhluk halus).

Ketika penganut Hindu di Jawa digantikan oleh penganut Islam, sosok Siwa dalam pewayangan diubah menjadi sosok Manikmaya. Perannya bukan lagi dewa pertapa dan dewa penghancur, melainkan raja para dewa – posisi yang semula dijabat oleh Indra.
  1. Nandi adalah mantan awatara Siwa sekaligus wahana Siwa.
  2. Siwa adalah satu-satunya dewa Hindu yang pernah mengalami rasanya menjadi duda.
  3. Siwa memiliki dua busur panah yakni Haradhanu dan Pinaka. Namun Haradhanu kemudian diserahkan pada Janaka, ayah Dewi Sinta, sementara Siwa sendiri memakai busur Pinaka.
  4. Trisula Siwa konon memiliki kekuatan melampaui Brahmastra milik Brahma.
  5. Siwa adalah guru dari Parasurama Awatara dan kelak akan memberikan senjata sakti kepada Kalki Awatara.
  6. Siwa sering bertindak sebagai penyeimbang tindakan Wisnu. Kala Wisnu ‘merampas’ Amrita dari tangan Asura pasca Samudra Manthan, Siwa memberikan mantra Mrit Sanjivani Vidya kepada Shukracharya (dewa yang memihak Asura) supaya para Asura kebal dari wabah penyakit apapun.
  7. Siwa adalah pemanah terbaik di antara para dewa.

Dewa Siwa
Ras : Trimurti
Awatara : Nandi, Virabadhra, Sharaba, Hanoman, dan Durwasa.
Peran : Dewa Alam Liar, Pendaur Ulang Semesta.
Wahana : Lembu Nandi
Pasangan : Sati (Uma) dan Parwati (Durga).
Anak : Ganesha, Murugan / Mala, Andhaka, (dan Kala serta Ayyapan)
Realm : Iswaraloka / Gunung Kailash
Senjata : Damaru, Haradhanu, Pinaka, Pasopati / Pashupatastra, dan Trishula

Tulisan ini Dipublikasikan oleh agung joni di facebooknya pada tanggal 24 November 2015.
Baca Juga
SHARE
Subscribe to get free updates

Related Posts

Post a Comment

Iklan Tengah Post