Mencapai Moksa di Zaman Kali Yuga, Yajna yang Utama
HINDUALUKTA -- Kaliyu merupakan zaman terakhir menurut ajaran Agama Hindu. Kaliyuga merupakan kebalikan dari zaman Krta/Satya Yuga, dimana kalau pada zaman krta yuga hati manusia benar-benar tertuju kepada Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan pengembali alam beserta isinya, sedangkan pada zaman kaliyuga kepuasan hatilah yang menjadi tujuan utama dari manusia.
Pada zaman Kali Yuga manusia merasa puas jika sudah memenuhi segala sesuatu yang bersifat materi/keduniawian baik itu berupa harta (kekayaan) ataupun tahta (kedudukan).
Untuk mencapai pembebasan di Zaman Kali Yuga seseorang harus mengutamakan berdana punya . Hal ini sesuai dengan kitab Parasara Dharmasastra yang berbunyi demikian:
"Tapah Param Krtayuge Tretayam Jnananucyate Dvapare Yajnamitya-curddanam Ekam kalau yuge"
Artinya:
Pelaksanaan penebusan dosa yang ketat (tapa) merupakan kewajiban pada masa Satyayuga; pengetahuan tentang sang diri (jnana) pada tretayuga; pelaksanaan upacara kurban keagamaan (yajna) pada masa Dwaparayuga, dan melaksanakan amal sedekah (danam) pada masa Kaliyuga (Parasara Dharmasastra 1,23).
Dari sloka di atas jelas bahwa berdana merupakan kewajiban manusia pada zaman kaliyuga. kedati demikian dalam kehidupan sekarang ini kita melihat banyak orang kaya yang kikir dan tidak mau mendermakan kekayaannya walaupun untuk yajna sekalipun. Hal ini dikarenakan manusia beranggapan bahwa makin sering bersedekah maka makin berkuranglah harta miliknya.
Pandangan yang demikian adalah sangat keliru karena sesungguhnya makin banyak kita bersedekah maka makin banyak pula kenikmatan yang akan diperoleh. Hal ini dipertegas dalam kitab Sarasamuscaya 171 yang berbunyi demikian:
"Kuneng phalaning tyagadana yawat katemung bhogapabhoga ring palaloka dlaha, yapwan phalaning sewaka ring ivwang kabayan, katemung medaguna, si yatnan kitatutur, kuneng phalaning ahingsa, si tan pamati-mati, kadir-ghayusan mangka ling sang pandita".
Artinya:
Maka hasil pemberian sedekah yang berlimpah-limpah adalah diperolehnya berbagai kenikmatan di dunia lain kelak; akan pahala pengabdian kepada orang tua-tua adalah diperolehnya hikmah kebijaksanaan yaitu : tetap waspada dan sadar;adapun akibat ahimsa yaitu tidak melakukan perbuatan membunuh adalah usia panjang; demikian kata sang panditr (orang arif bijaksana).
Maka dari itu, karena dana punya adalah kewajiban yang paling utama. Maka mulai sekarang hendaknya manusia merubah pola pikir. Utamakan dana punya, membuka hati untuk melaksanakan dana punya.
Lalu bagaimanakah caranya agar bisa terbiasa melakukan dana Punya? Kitab Sarasamuscaya Sloka 212 memberikan teknik melatih diri untuk berdana punya. Ada pun caranya adalah sebagai berikut:
"Kuneng tekapanika sang mataki-taki dana karma, alpa wastu sakareng danakena,kadyangganingprat,lunggat, lutik, bungkila, samsam prakara, telas parityaga pwa irika, licin anglugas ala-ris ri kawehanya, makanimittang abhyasa, dadya ika mehakena rah dagingnya mene".
Artinya:
Bagi orang yang melatih atau menguji diri untuk perbuatan memberikan sedekah, hendaknya dengan cara memberikan sedekah barang-barang yang tak berarti untuk sementara, sebagai misalnya salur-saluran, pucuk tumbuh-tumbuhan, tunas tanam-tanaman, umbi-umbian i dan semacamnya tanam-tanaman yang daunnya boleh dimakan; jika untuk itu telah ada keikhlasan pengorbanan, licin, bebas dan lancar jalannya pemberian sedekah itu disebabkan karena telah merupakan kebiasaan dapat terjadi bahwa orang itu akan memberikan darah daginggnya sendiri nanti.
Ketika manusia menyadari betapa pentingnya berdana punya dalam kehidupan, dan melakukannya maka itu hal yang sangat mulia. Sebaliknya jika seseorang hanya pintar menasehati tetapi tidak pernah melakukan dana punya maka apa yang disampaikan akan sia-sia dan tiada akan membuahkan hasil sebagaimana diungkapkan dalam Sarasamusccaya Sloka 214.
"Kunang ikang wwang mapitutur juga, makon agawaya danapunya, akweh akadeika tuwi, ikang wwang mangkana kramanya, ya ika tan siddhasadhya dlaha, wiluma asing sesta prayojananya, kadi kramaning kliba, tan paphala polahnya".
Artinya:
Tetapi orang yang hanya memberi ingat atau nasehat saja menyuruh agar berbuat kebajikan memberi sedekah, baik banyak ataupun sedikit, orang yang demikian prilakunya, adalah tidak kesampaian maksudnya kelak, sekalian cita-cita dan tujuannya akan sia-sia, sebagai keadaan seorang mati pucuk (mandul) tidak berhasil perbuatannya.
Dana Punya yang dilakukan tanpa dasar ketulusan, maka tidak ada gunanya. Dalam lontar Slokantara (Sloka 20 (5)) dikatakan bahwa "Walaupun seandainya dana itu berjumlah amat besar tetapi diberikan dengan hati marah akhirnya tidak berbeda dengan abu dari setumpuk ilalang dibakar oleh api yang kecil saja"
Maka dari itu, lakukanlah dana punya sesuai dengan kemampuan, walau sekecil apapun karena yang terpenting dalam bersedekah adalah ketulusan hati dan bukan dengan kesombongan, gengsi ataupun dengan maksud memamerkan kekayaan. Hal ini dipertegas dalam kitab Sarasamusccaya Sloka 184 yang berbunyi demikian:
"Yadyapin akedika ikang dana, ndan mangene welkang ya, agong phalanika, yadyapin akweha tuwi; mangke welkang tuwi, yan antukning anyaya, nisphala ika, kalinganya, tan si kweh, tan si kedik, amuhara kweh kedik ning danaphala, kaneng paramarthanya, nyayanyaya ning dana juga".
Artinya:
Biarpun sedikit pemberian (sekedah) itu, tetapi mengenai kehausan atau keinginan hati, besarlah manfaatnya; meski banyak apalagi menyebabkan semakin haus dan diperoleh dengan cara yang tidak layak atau tidak patut, tiada faedahnya itu; tegasnya, bukan yang banyak atau bukan yang sedikit, menyebabkan banyak atau sedikit faedah pemberian itu, melainkan pada hakekatnya tergantung dari layak atau tidaknya pemberian itu.
Kemudian dalam Lontar Slokantara Sloka 19 (4) dijelaskan juga hal yang sama yang berbunyi "Walaupun dana itu berjumlah kecil dan tidak berarti, tetapi jika diberikan dengan hati suci, akan membawa kebaikan yang tidak terkira sebagai halnya sebuah biji pohon beringin".
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban atau yadnya utama manusia pada zaman Kaliyuga adalah melaksanakan dana punya.
Mencapai Moksa di Zaman Kaliyuga
Bagaimana cara mencapai moksa di Zaman Kaliyuga? Tentunya melalui penerapan ajaran agama yang baik. Telah dijelaskan di atas bahwa yadnya yang paling baik di zaman kali yuga adalah dana punya atau dana punia. Maka dari itu, untuk mencapai moksa atau pembebasan lakukanlah dana punya dengan ketulusan. Lalu bagaimana caranya?
1. Mengutamakan Susila
Untuk mencapai moksa di zaman kali yuga maka lakukanlah dana punya dengan mengikuti tata susila. Susila berarti peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia. Tujuan tata susila ialah untuk membina perhubungan yang selaras atau perhubungan yang rukun antara seseorang (Jiwatma) dengan makhluk hidup di sekitarnya, perhubungan yang selaras antara keluarga yang membentuk masyarakat dengan masyarakat itu sendiri antara satu bangsa dengan bangsa yang lain dan antara manusia dengan alam sekitarnya.
Secara umum penerapan Agama Hindu di zaman Kali Yuga sesuai ajaran tata susila (Tri Kaya Parisudha) adalah sebagai berikut:
- Bhakti / kasih sayang yang murni kepada Tuhan (Çiwa). hal ini dapat dilakukan dengan mengucapkan/mengumandangkan nama suci Tuhan antara lain dengan menyebutkan nama aksara sucinya “om namah siwaya” diucapkan melalui lahir bhatin secara berulang- ulang. Rasa bhakti ini tidak hanya dilakukan ketika berada di pura, tetapi dapat dilaksanakan pada tempat lainnya setiap saat.
- Tresna adalah Sikap bersahabat dengan orang lain/kasih sayang.
- Asih artinya Bersikap welas asih pada semua makhluk, hal ini dapat dilakukan dengan cara berperilaku yang baik, bahwa pada prisipnya kita tidak beda dengan yang lainnya. Hal ini ditegaskan dalam Kitab Suci Weda yang dinyatakan dalam satu kalimat sutra yaitu Wasudewa kutumbhakam, yang artinya: semua mahluk berasal dari satu sumber yaitu Tuhan (Vasudeva) ; semua mahkluk adalah saudara.
- Jujur dan transparan berani berkata jujur, apa yang kita dapat dari tidak benar dan bukan hak kita, maka kita akan hancur (katiben kesengsaran).
- Banyak bersyukur
Dalam Lontar Agastya Parwa disebutkan 3 (tiga) bentuk perilaku untuk mewujudkan harmoni di jagat raya ini serta jalan menuju nirvana (sorga) antara lain:
- Tapa yaitu melakukan pengendalian diri baik fisik maupun mental.
- Yajna, yaitu melaksanakan agnihotra yang utama, yaitu pemujaan kehadapan Sang Hyang Siwāgni (Tuhan Yang Maha Esa), sesuai Satwika Yadnya.
- Kerthi, yaitu melaksanakan pelayanan yang direalisasikan dalam bentuk membangun tempat pengobatan (apotik, klinik dan rumah sakit), membangun tempat suci/pura/candi/, tempat peristirahatan, mengelola tanah dengan baik/bercocok tanam (bertani), mengelola air minum dan kepentingan pengairan (pancuran) dan membuat penyimpanan air, kolam, waduk, bendungan (telaga).
Tentunya untuk mencapai kebebasan atau moksa yakni dengan melaksanakan ajaran Weda yang merupakan sabda Tuhan dan berintikan kebenaran abadi. Manusia hendaknya melakukan perbuatan, perkataan dan selalu mempertimbangkan ke visi dan misi agama sebelum dijalankan demi kedamai (shanti).
Lontar Widhi Sastra Menyebutkan Bahwa untuk Mencapai Moksa di Zaman Kali Yuga hendaknya melakukan upacara yadnya ngusaba nini dan ngusaba desa yang dilaksanakan oleh desa adat dilakukan secara bersamaan yang bertujuan untuk tegaknya hati nurani kembali dalam memelihara kebenaran sehingga terhindar dari prilaku yang penuh dosa. Dalam wasista tattwa pun disebutkan, ada upacara yadnya yang sepatutnya dilaksanakan di zaman kali yuga ini seperti :Uma yadnya, dewa yadnya, pitra yadnya, bhuta yadnya, pandita / rsi yadnya, dan Manusa Yadnya sebagai penyucian diri secara spiritual terhadap manusia.
Dengan sucinya diri manusia, maka rasa ingin melakukan dana punya akan timbul dari hati yang paling dalam. Demikian tentang yadnya di zaman kali Yuga semoga bermanfaat.
Baca Juga
Post a Comment
Post a Comment