Iklan Billboard 970x250

Upacara Ma'manuk Tallu Meminta Keselamatan dan Penjang Umur

Upacara Ma'manuk Tallu Meminta Keselamatan dan Penjang Umur

HINDUALUKTA -- Ma'manuk Tallu adalah sebuah upacara persembahan yang ditujukan kepada Puang Matua atau Dewata, Dewa-dewa dan Leluhur (arwah) dalam adat Suku Toraja Khususnya bagi umat Hindu Aluk Todolo.

Hal ini dikatakan oleh Sismay Eliata Tulungallo, Ketua Forum Pemerhati Budaya Toraja dalam upavar Ma'manuk Tallu yang digelar di Tongkonan Sassa, Lembang Gasing, Kecamatan Mengkendek, Tana Toraja, Kamis 16 Februari 2017.

Menurutnya Upacara Ma'manuk Tallu, memang sangat jarang di dengar di masyarakat suku Toraja, sebab upacara ini memang sangat jarang dilaksanakan, mengingat mayoritas masyarakat Toraja sudah beragama Kristen dan Islam.

Padahal, kata dia, upacara Upacara Ma'manuk Tallu, merupakn suatu ritual yang bertujuan untuk memohon kepada Dewata atau Puang Matua (Tuhan) agar semua dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan warga Tongkonan dapat diampuni.

"Upacara ini sangat langka dilakukan, berbeda dengan rambu solo, mungkin baru kali ini anda menyaksikannya," kata dia kepada kareba toraja.

Selain itu, Upacara Ma'manuk Tallu, juga bertujuan untuk meminta kemakmuran dan panjang umur serta perlindungan kepada Puang Matua agar semua warga Tongkonan mendapatkan kebahagiaan.

Upacara Ma'manuk Tallu pada umumnya menggunakan empat ekor ayam kampung yang dinilai suci. Keempat ayam ini berbeda satu dengan yang lainya. Tujuanya pun berbeda.

Dari keempat ayam ini yakni Karurung (Ayam yang memiliki ciri coklat kehitaman dan kakinya berwarna hitam) dipersembahkan kepada arwah leluhur yang telah membuat atau menciptakan aluk (agama).

Kemudian yang kedua Kolong Rae (Ayam  berwarna hitam pekat, ada warna merah sedikit di bagian leher, dan satu kukunya berwarna putih) dipersembahkan untuk Dewa yang melindungi bumi atau dewa tanah (Ampu Padang). Pada umumnya ayam seperti ini sangat sulit dicari, namun harus ada karena tidak boleh diganti dengan ayam lain.

Ketiga Talluni (Ayam berwarna merah dan kakinya berwarna kuning) dipersembahkan kepada Dewa Pinggiran Langit. Dewa ini dianggap sebagai sosok yang suka menggoda manusia berbuat dosa atau kesalahan. Dia selalu berusaha untuk masuk ke dalam hati manusia dan merasukinya sehingga timbul niat untuk melakukan tindakan-tindakan jahat. Dewa ini tidak suka makanan yang dimasak. Itu sebabnya, dia diberi makanan beras yang masih mentah dan daging ayam yang tidak dimasak (hanya dibakar saja). Karena alasan itu pula sehingga pada tumpukan daun pisang ketiga (seperti diuraikan pada alinea terdahulu) terdapat terdapat beras yang belum dimasak.

Dan ayam yang keempat disebut Sella’. Cirinya, bulu berwarna merah kehitaman dengan kaki berwarna putih. Ayam jenis ini dipersembahkan kepada Puang Matua (Tuhan) penguasa alam semesta, manusia, tumbuhan, dan hewan atau makhluk hidup lainnya.

Pada umumnya upacara Ma'manuk Tallu dilaksanakan di sebelah timur Tongkonan pada pagi menjelang siang. Warga yang hendak mengikuti upacara berkumpul di sebelah timur Tongkonan. Di tempat upacara, disiapkan kurungan ayam mini yang sudah dianyam sebelumnya. Daun pisang dihampar di atas tanah. Lalu, ada beberapa daun pisang lagi yang ditumpuk tersendiri menjadi empat bagian.

Di atas tumpukan daun pisang ini, juga ada anyaman daun pisang yang dibuat untuk menadah darah ayam persembahan. Pada tumpukan daun pisang yang ketiga, ada sedikit beras, yang juga diletakkan pada sehelai daun pisang. Pada ketiga tumpukan lain, tidak terlihat beras. Beras ini ternyata memiliki tujuan khusus. Empat buah kurungan ayam diletakkan di depan masing-masing tumpukan daun pisang.

Setelah semua persiapan ritual dianggap lengkap, Tominaa (Pendeta dalam Aluk Todolo) mengambil ayam pertama, yang disebut Karurung kemudian di doakan atau dibacakan mantra cukup panjang. Setelah selesai diganti dengan ayam berikutnya, hingga keempat ayam tersebut selesai di doakan satu-persatu sesuai dengan tujuanya.

Setelah itu, kemepat ayam tersebut disembeli Darah ayam ditampung pada ayaman daun pisang yang sudah disediakan. Kemudian, beberapa lembar bulunya diletakkan dalam kurungan ayam mini. Juga beberapa kuku kakinya. Lalu, ayam-ayam ini dibakar dan dipotong-potong sesuai ukuran serta diletakkan di masing-masing tumpukan daun pisang yang berjumlah empat tumpukan itu. Usai itu, Tominaa mendaraskan lagi syair puji-pujian kepada Tuhan dan para dewa. Setelah itu, daging ayam dimasak dalam bambu (dipiong), tanpa garam dan bumbu, apalagi penyedap rasa.

Beberapa saat kemudian, setelah daging ayam dianggap sudah matang, diangkat dari perapian dan diletakkan kembali ke masing-masing tempat sesuai urutan. Pa’piong beras yang sudah dimasak sebelumnya juga diambil untuk dibagikan kepada masing-masing dewa. Setelah itu, Tominaa berdoa lagi memanggil para dewa untuk makan.

Setelah itu, upacara dianggap telah selesai. Pa’piong beras dan daging ayam boleh diambil oleh warga untuk dikonsumsi bersama.

Baca Juga
SHARE
Subscribe to get free updates

Related Posts

Post a Comment

Iklan Tengah Post